ISLAM
DAN KAMPANYE
Karena dalam masa kehidupan Rasulullah saw tidak
pernah ada Pemilihan Umum (Pemilu) seperti hari ini maka otomatis tidak ada
pula kampanye seperti sekarang. Ini bermakna kita tidak ada rujukan langsung
tentang kampanye dalam Islam sebagaimana kampanye yang berlangsung hari ini.
Namun Islam punya istilah lain untuk mengembangkan Islam dan ummatnya yang
disebut dakwah. Antara dakwah dengan kampanye tentunya mempunyai perbedaan yang
sangat signifikan, karena istilah dakwah itu konotasi positif dan dekat dengan
pahala sementara kampanye bernuansa negative yang cenderung dikonotasikan akrab
dengan neraka. Ini lebih disebabkan oleh kecenderungan-kecenderungan jurkam
yang suka berbohong dan inkar janji selama ini.
Selainitu Islam juga tidak menggalakkan ummatnya untuk
mempromosikan personalitas dirinya agar dipilih oleh rakyat pada jabatan
tertentu. Karena cara seumpama itu lebih dekat kepada sikap ambisi pribadi yang
mengejar jabatan yang dilarang Islam. Sabda Rasulullah saw: “Jangan sekali-kali
kamu meminta untuk menjadi pemimpin, kecuali diberikan dengan cara yang wajar
maka terimalah, kalau diberikan dengan cara yang salah maka tolaklah” (Bukhari
dan Nasa-i).
Pernah Abu Zar al-Ghifari yang terkenal khusyu’ dan
wara’ coba meminta posisi pemimpin pada Rasulullah saw. Karena Rasulullah
merasa beliau tidak serasi untuk memperoleh posisi tersebut maka Baginda tidak
memberikannya, alasan Beliau tidak mengabulkan permintaan Abu Zar karena beliau
meminta jabatan bukan diberikan dengan wajar, dan personalitasbeliaumenurut
Nabi tidakcocokuntukdipromosikan di sana.
(dari
Riadhus Shalihin hadist no: 672, 673,674).
672.Dari Abu Said, yaitu Abdur Rahman bin Samurah r.a.,
katanya: "Rasululiah s.a.w. bersabda kepada saya: "Hai Abdur Rahman
bin Samurah, janganlah engkau meminta jabatan amir - penguasa negara, sebab jikalau
engkau diberi tanpa adanya permintaan daripadamu, maka engkau akan
diberipertolongan oleh Allah dalam memegang jabatan itu, tetapi jikalau engkau
diberi dengan sebab adanya permintaan daripadamu, maka engkau akan dipalingkan
dari pertolongan Allah. Jikalau engkaubersumpah atas sesuatu yang disumpahkan,
kemudian engkau mengetahui sesuatu yang selainnya itu lebih baik daripada apa
yang engkau sumpahkan tadi, maka datangilah - yakni laksanakanlah -apa-apa yang
lebih baik tadi serta bayarlah kaffarah - denda - karena sumpahmu itu."
(Muttafaq 'alaih)
673. Dari Abu Zar r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w.
bersabda: "Hai Abu Zar, sesungguhnya saya melihat engkau itu adalah
seorang yang lemah dan sesungguhnya saya mencintai untukmu sesuatu yang saya
cintaiuntukku sendiri. Janganlah engkau menjadi seorang amir - pemegang
kekuasaan atau hakim - atas dua orang -maksudnya sekalipun yang diperintah itu
hanya sedikit dan diibaratkan dua orang, tetapi jangan suka menjadi penguasa
atau yang membawahi mereka -dan jangan pula engkau mendekati harta anak yatim -
sehingga engkau pakai untuk keperluanmu sendiri." (Riwayat Muslim)
674. Dari Abu Zar r.a. pula, katanya: "Saya berkata:
"Ya Rasulullah, tidakkah Tuan suka menggunakan saya - yakni mengangkat
saya sebagai seorang petugas negara." Beliau s.a.w. lalu menepuk ba.huku
dengan tangannya, lalu bersabda: "Hai Abu Zar, sesungguhnya pada hari
kiamat engkau adalah seorang yang lemah dan sesungguhnya jabatan pemerintahan
itu adalah sebagai amanat dan sebenarnya jabatan sedemikian itu adalah
merupakan kerendahan serta penyesalan - pada hari kiamat - bagi orang yang
tidak dapat menunaikan amanatnya, kecuali seseorang yang mengambil amanat itu
dengan hak sebagaimana mestinyadan menunaikan apa yang dibebankan atas dirinya
perihal amanat yang dipikulkan tadi. (Riwayat Muslim).
Karenanya seseorang yang berkampanye kepada orang
banyak serta meminta rakyat untuk memilihnya, itu berarti identik dengan
meminta jabatan pada rakyat dengan perasaan ambisi. Berpijak kepada hadis Nabi pada Abdur Rahman bin
Samurah r.adan kasus Abu Zar
al-Ghifari maka langkah tersebut sudah keluar dari tradisi Nabi,
keluar dari tradisi tersebut bermakna keluar dari ketentuan Islam.
Namun manakala kita mengingat sistem
Pemerintahan kita yang demikian ini, mengharuskan adanya Pencalonan diri dan
kampanye. Sedangkan jika orang Islam yang taat berpegang teguh pada dalil
hadist di atas sehingga tidak mau mencalonkan diri atau bahkan tidak mau
berkampanye. Maka akan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang fasiq atau bahkan
kafir. Ini menjadi dipandang suasana Dharuri, karena dapat dipastikan madharat
akan lebih besar jika para Pemimpin Kafir yang berkuasa. Terlepas dari hukum
“memilih pemimpin kafir adalah haram”. Karena jika calon pemimpin tidak ada
yang Islam, maka tidak dapat dihindari Pemimpin kafir yang berkuasa.
Maka sesuai
qaidah ushul fiqih : “Ad Dharuraatu tubiihul makh dzuuraati”
Kemudharatan
itu membolehkan hal-hal yang dilarang.
Atau
menggunakan Qaidah : “Yuh tamalud
dhararul khasi li ajlid dhararil ‘aami”
Kemudahan
yang khusus, boleh dilaksanakan demi menolak kemadharatan yang bersifat umum.
Mencalonkan diri akan mengandung madharat pribadi, seperti ujub, cinta
jabatan, ambisi nafsu dan sebagainya. Tetapi demi kepentingan Umat Islam yang
lebih besar, maka mencegah madharat secara umum lebih didahulukan. Maka mau
tidak mau harus ada orang Islam yang mencalonkan diri.
Alasan
dibolehkannya orang Islam mencalonkan diri sebagai pimpinan, selain adanya
qaidah di atas, ada beberapa Ulama yang mendasari dengan hadist :
Utsman bin Abu Al ‘Ash Radhiallahu
‘Anhuberkata:
يَارَسُولَاللَّهِاجْعَلْنِيإِمَامَقَوْمِيقَالَأَنْتَإِمَامُهُمْوَاقْتَدِبِأَضْعَفِهِمْوَاتَّخِذْمُؤَذِّنًالَايَأْخُذُعَلَىأَذَانِهِأَجْرًا
Wahai Rasulullah jadikanlah aku sebagai pemimpin bagi kaumku!
Beliau bersabda: “Engkau adalah pemimpin bagi mereka, perhatikanlah orang yang
paling lemah di antara mereka, dan angkatlah seorang muadzin dan
jangan upah dia karena adzannya.” (HR. Abu Daud No. 531, Ahmad No. 17906,
AthThabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 8365, AnNasa’idalam As Sunan Al Kubra
No. 1636, Al Hakim No. 715, katanya: shahih sesuai syarat Imam Muslim.
SyaikhSyu’aib Al Arnauthmengatakan: shahih. Ta’liqMusnad Ahmad No. 17906)
Jelas sekali seorang sahabat nabi, Utsman bin Abu Al ‘Ash
Radhialahu ‘Anhumeminta kedudukan sebagai pemimpin bagi kaumnya
-yakni dalam konteks hadits ini adalah pemimpin shalat- dan nabi pun
menunjuknya sebagai seorang pemimpin bagi kaumnya itu. Para pensyarahhadits juga
menjelaskanbahwahaditsinidalilkebolehanmemintajabatankepemimpinan.
Imam
Ash Shan’aniRahimahullahmengomentari:
الحديثيدلعلىجوازطلبالإمامةفيالخيروقدوردفيأدعيتعبادالرحمنالذينوصفهماللهبتلكالأوصافأنهميقولون {وََاجْعَلْنَالِلْمُتَّقِينَإِمَاماً} وليسمنطلبالرياسةالمكروهة
Haditsinimenunjukkankebolehanmemintajabatankepemimpinandalamkebaikan.
Telahada di antaradoa-doa para ibadurrahman, di mana Allah
Ta’alamenyifatimerekadengansifattersebut, bahwamerekaberkata (Dan jadikanlah
kami sebagaipemimpinbagi orang-orang bertaqwa), dan
memintajabatanitubukanlahmerupakanhal yang dibenci. (Subulus Salam, 1/128)
Syaikh Said bin ‘Ali bin Wahf Al QahthaniHafizhahullah
juga mengutipperkataan Imam Ash Shan’ani di atas, laludiamelanjutkan:
فإنذلكفيمايتعلقبرياسةالدنياالتيلايُعَانُمَنْطلبها،ولايستحقأنيُعْطَاهَامَنْسأله،فإذاصَلحتالنيةوتأكدتالرغبةفيالقيامبالواجبوالدعوةإلىالله – عزوجل – فلاحرجمنطلبذلك.
Sesungguhnyahaliniterkaitdenganjabatan dunia yang
tidakusahditentang orang yang memintanya, dan tidak pula berhakdiberikankepada
yang memintanya, namunjikadianiatnyabagus dan diperkuat oleh
keinginanuntukmenjalankankewajiban dan dakwahilallah ‘AzzawaJalla,
makatidakapa-apamemintajabatanitu. (Al Imamah fish Shalah, Hal. 4).
Para Ulama yang membolehkan, juga mendasari dari
kisah Nabi Yusuf ‘Alaihissalam.
Allah Ta’alaberfirmantentang Nabi Yusuf ‘Alaihissalam
yang memintakepada raja agar dirinyadijadikanpenanggungjawabkeuangannegerinya:
قَالَاجْعَلْنِيعَلَىخَزَائِنِالأَرْضِإِنِّيحَفِيظٌعَلِيمٌ
Berkata Yusuf: “Jadikanlahakubendaharawan negara
(Mesir); Sesungguhnyaakuadalah orang yang pandaimenjaga, lagiberpengetahuan”.
(QS. Yusuf: 55)
Ayat inimenerangkanduahal, yaitupertama,
memintajabatan, kedua, syaratmenjadipejabatyaknihafizhun ‘alim –
pandaimenjagaamanah dan berpengetahuan. Jikasyaratinitidakterpenuhi,
makatidakselayaknyaseseorangmeminta-mintajabatan. Seseorangharusjujuratasdirinyasendiri,
jujuratasniat dan kemampuandirinya. Ayat iniseringdijadikandasar para ulama
tentangkebolehanmemintajabatandengansyaratseperti di atas.
Tertulisdalam
Tafsir Al Muyassarsebagaiberikut:
وأراديوسفأنينفعالعباد،ويقيمالعدلبينهم،فقالللملك: اجعلنيواليًاعلىخزائن “مصر”،فإنيخازنأمين،ذوعلموبصيرةبماأتولاه.
Yusuf bermaksudbisamemberikanmanfaatbagimanusia, dan
menegakkankeadilan di antaramereka, laludiaberkatakepada raja:
“Jadikanlahakupemimpin (penanggungjawab) atasperbendaharaan negeri Mesir, sesungguhnyaaku
orang yang amanahterhadapharta, dan memilikiilmusertabashirah (kepandaian)
terhadapapa-apa yang menjaditanggungjawabku.” (Tafsir Al Muyassar, 4/155)
Kembali kepada masalah kampanye.
Apabila Orang Islam boleh mencalonkan diri, dan memenuhi syarat-syaratnya
tersebut. Tidak bisa tidak harus mengikuti sistem dalam negara kita yaitu
Kampanye. Mengingattidakadaperaturanbakutentangkampanyedalam
Islam, sementaradalam kampanye biasanya penuh dengan kebohongan publik dan hal-hal lain
yang melanggar syariat.
Dengan demikiancalonbarangkalidibolehkanberkampanyeasalkanharusmenggunakanrambu-rambu
agama Islam baik yang berkenaandengan ‘aqidah, maupunakhlaq. Tidak boleh menghalalkan
segala cara.
Kampanye adalah tindakan dan
usaha yang bertujuan mendapat dukungan sebanyak-banyaknya. Jika orang Islam
yang mencalonkan diri sebagai pemimpin, bolehkah berkampanye untuk mencari
dukungan?
Kampanye bisa dibagi menjadi dua,
yaitu kampanye secara umum, yang melibatkan banyak orang. Dan kampanye secara
pribadi antar personal atau lingkup yang lebih kecil.
Jika kampanye secara umum tersebut memang menjadi bagian sistem untuk
memperoleh jabatan, dengan syarat-syarat yang disahkan oleh penyelenggara atau
Pemerintah (dalam hal ini KPU). Maka dapat dimaklumi, kampanye semacam ini
boleh hukumnya, karena sesuai aturan bersama yang disepakati dan sah menurut
Negara.
Hukum
melanggar peraturan Pemerintah. Sebenranya mudah disimpulkan sebagai berikut :
Hukum
Pemerintah itu wajib ditaati dan berdosa jika dilanggar, apabila hukum tersebut
:
1. Tidak bertentangan dengan Syariat Islam.
2.
Untuk menghindari Madharat dan mengandung maslahah.
Sebaliknya,apabila hukum itu
bertentangan degan syariat dan bahkan mengandung
madharat, maka tidak mengapa melanggar hukum Pemerintah tersebut.
Dengan demikian, Kampanye secara umum yang sah sesuai aturan Pemerintah,
maka dibolehkan. Sebaliknya, Kampanya secara umum yang melibatkan orang banyak,
tetapi melanggar aturan yang ditetapkan KPU maka jelas dilarang. Haram
hukumnya, karena mengandung banyak madharat.
Kampanye
umum yang melanggar aturan KPU diantaranya :
1.
mengganggukeamanan, ketenteraman, dan ketertibanumum;
2. . mengancam dan menghina orang lain.
3. menyebarkan berita bohong
atau menfitnah.
4. merusak dan/ataumenghilangkanalatperagaKampanye;
5.
menggunakanfasilitas dan anggaranPemerintah dan Pemerintah Daerah;
6. menggunakantempatibadah dan tempatpendidikan;
Dan
lain-lain.
Kampanye
pribadi. Dapat dibagi dua macam :
1. Di lingkungan keluarga
yang dia sebagai Kepala Rumah tangga.
2. Di lingkungan di luar
keluarga.
Pertama, Kampanye pribadi di lingkungan keluarga yang menjadi tanggung
jawabnya jelas dibolehkan, karena tidak mengandung madharat sama sekali.
Kedua,
kampanye pribadi di lingkungan di luar keluarga, artinya kepada para tetangga, teman
atau lingkungan tempat kerja dan lain-lain. Hal ini jika dilakukan kemungkinan
besar banyak mengadung madharat. Jika teman, tentangga atau orang lain yang
kita ajak itu ternyata memliki pilhan sendiri, tentu akan tersinggung dan sakit
hati, saat kita memuji-muji ‘jago’ kita. Karena menyakiti hati sesama muslim
adalah haram, maka kampanye semacam ini menjadi haram.
Boleh saja
orang yang berkampanye dengan alasan Hisbah (amar ma’ruf nahi mungkar) karena
‘jago’nya adalah orang Islam yang dianggapnya dapat membawa amanah. Tetapi efek
kampanye tersebut jika menyakiti hati orang lain, inilah yang dilarang.
Karena
salah satu syarat Hisbah, menurut Imam Gahzali di dalam Ihya ‘ Ulumuddin adalah
Qodiron atau berkemampuan untuk itu. Dalam arti jika tidak mengandung madharat
dan berfaedah atau ada gunanya ucapannya itu, maka wajib hsibah. Sebaliknya
jika mengandung Madharat dan tidak jelas faedahnya, maka menjadi haram
melakukan hisbah.
أحدهما أن يجتمع المعنيان بأن يعلم أنه
لا ينفع كلامه ويضرب إن تكلم فلا تجب عليه الحسبة
الثانية أن ينتفي المعنيان جميعا بأن يعلم أن
المنكر يزول بقوله وفعله ولا يقدر له على مكروه فيجب عليه الإنكار وهذه هي القدرة
المطلقة الحالة (فيجب الحسبة)
Keadaan pertama, berkumpulnya dua
pengertian (tidak berfaedah dan mengandung madharat) dengan tahu bahwa
ucapannya itu tidak berfaedah dan dapat dipukul jika berbicara, maka tidak
wajib hisbah.
Keadaan kedua, bahwa kedua pengertian itu tidak ada
semuanya (berfaedah dan tidak mengandung madharat), ia tahu bahwa perbuatan
munkar dapat hilang dengan ucapan dan perbuatannya dan tidak diduga akan
terjadi yang tidak baik, maka wajib baginya ingkar (hisbah), inilah kemampuan
yang mutlak (untuk melakukan hisbah). (Ihya ‘ Ulumuddin , Juz 2 hal 315).
Maka dengan demikian, jika kampanye itu bersifat umum maupun pribadi, jika
tidak berfaedah dan mengandung madharat, maka tidak layak dilakukan seorang
muslim yang baik.
Atau dapat
dirujuk berdasar qaidah ushul fiqih :
“ Daf’ul
mafasid muqaddamun ala jalbil masholih”
دفع المفاسد مقدّم على جلب المصالح
Mencegah terjadinya kerusakan itu lebih diutamakan daripada menganjurkan
kebaikan.
WAllahu
a’alam.
Abyan
Gantaran
(Universitas
Islam Negri Maulana Malik Ibrahim Malang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih